Processing...

ANAK #JAMAN NOW : LEBIH KASAR DAN TIDAK SOPAN?


Diposting oleh | Mon, 01 Nov 2021 12:29:01

 

Menurut survei tahun 2016 oleh Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research, tiga perempat orang Amerika berpikir perilaku di Amerika Serikat sudah memburuk selama beberapa dekade terakhir. Generasi Z dan Alpha, yang mencakup orang-orang di bawah usia 22 tahun yang jumlahnya hampir sepertiga dari populasi global, merupakan generasi yang 'dianggap' sebagai generasi yang lebih tidak sopan dan lebih kasar dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Berdasarkan laporan Pew Research Center 2014, bersikap baik masuk dalam empat nilai kebajikan teratas yang ingin orang tua tanamkan ke anaknya. Sedangkan tiga lainnya adalah: tanggung jawab, kerja keras, dan menolong orang lain.  Namun apa yang orang tua katakan dan apa yang sebenarnya mereka lakukan tidak selalu sama, dan banyak keluarga gagal dalam menanamkan nilai-nilai ini.

Tidak peduli seberapa besar orang tua menekankan kesopanan, anak-anak bisa saja tetap berteriak di restoran, menyela orang dewasa yang sedang bercakap-cakap, dan menjawab pertanyaan orang dewasa dengan nada yang bisa dianggap tidak sopan.

Namun di sisi lain, banyak juga anak-anak yang beranggapan bahwa bersikap sopan sebagai sebuah "kebiasaan kuno". 

David Finkelhor, seorang profesor sosiologi di Universitas New Hampshire, menciptakan istilah 'juvenoia'. Ia menjelaskan fenomena ini sebagai keluatiran yang berlebihan yang akan berpengaruh pada perubahan sosial pada kaum muda. Fenomena yang terjadi ini diduga juga sebagai akibat orang dewasa atau lanjut usia yang tidak memahami perubahan jaman yang terjadi, dan mencoba menanamkan nilai-nilai yang baik dengan cara 'jaman dulu'. Ada juga orang dewasa yang 'lupa' bahwa mereka pun saat kanak-kanak juga pernah bersikap seperti anak #JamanNow.

Nah, untuk mencegah anak-anak menjadi kasar dan tidak sopan, orang tua bisa pelajari beberapa hal yang membuat anak kasar dan tidak sopan berikut ini:


1. Gadget

Catherine Steiner-Adair, psikolog yang berbasis di Cambridge dan penulis "The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationships in the Digital Age" menjelaskan, orang tua kurang mengetahui kesulitan anak-anak mengatur perilaku setelah melepaskan diri dari penggunaan gadget. Anak-anak bisa berubah menjadi pemarah dan kasar ketika "dipaksa" mengakhiri waktu menggunakan gadget. 

Anak-anak semakin sering menyela, sarkas, dan menunjukkan kurangnya toleransi, karena otak mereka terbiasa dengan kepuasan instan yang mereka dapatkan saat menggunakan layar. Mereka ingin segera mendapatkan kepuasan itu kembali dengan kembali menggunakan gawai mereka.

Karena itu orang tua perlu mengembangkan keterampilan sosial dan juga mengembangkan kreativitasnya, ketika merasa teknologi digital mengganggu relasi mereka dengan anak. Kembangkan interaksi komunikasi yang menyenangkan, kreasikan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan, agar anak tidak selalu 'kembali' menggunakan gawai.


2. Waktu orang tua. 

Dinamika kehidupan modern juga menambah tantangan ini, membuat orang tua lebih sulit untuk menyampaikan pengajaran. Banyak orang tua masa kini hanya memiliki beberapa jam bersama anak-anak mereka. Orang tua ingin melakukan kewajibannya untuk menanamkan sopan santun, tetapi tidak ingin menghabiskan seluruh waktunya dengan anak-anak untuk mendiskusikan kepada mereka, tentang perlunya mereka memiliki sikap sopan santun.


3. Stres. 

Stres yang dirasakan orang tua menjadi alasan lain yang membuat anak jadi tak memperhatikan pengajaran tentang sopan santun. Ini bisa mempengaruhi kemampuan anak untuk bersikap sopan dan berempati. 

Dorothy Richardson, seorang Psikolog Perkembangan Anak, menyatakan bahwa anak-anak perlu belajar sopan santu, berempati, tidak hanya melalui observasi. Mereka perlu belajar berempati, dengan lebih dulu mengalami/menerima empati. Namun kesibukan orang tua yang membuat mereka mengembangkan "budaya multitasking yang berkecepatan tinggi",  semakin mempersulit orang tua untuk memberikan ruang bagi pembelajaran empati ini, dan ini meningkatkan stres pada anak-anak.  Tak jarang kurangnya perhatian anak-anak terhadap orang lain, adalah refleksi dari kecemasan dalam diri mereka sendiri, karena merasa tidak mendapatkan empati dari orang tuanya. Dan bagaikan lingkaran setan, kurang empatinya anak-anak, meningkatkan stress orang tua, yang pada akhirnya juga berdampak meningkatnya stres pada anak.


4. Sikap orang tua.  

 "Kita bisa mengatakan apa pun yang kita inginkan kepada anak-anak kita tentang sopan santun, tetapi yang lebih penting, mereka mengikuti teladan kita,” kata Diane Gottsman, "Modern Etiquette for a Better Life". 

Kalau orang tua  ingin anaknya menjadi bijaksana, hendaknya jangan berbicara tentang sesuatu yang negatif di depan anaknya. Saat orang tua membicarakan keburukan orang lain di depan anak, mereka akan kehilangan simpati dan respek dari anaknya juga.

Sebelum menuduh kekasaran anak disebabkan karena teknologi digital, orang tua harus mengintrospeksi dirinya sendiri.  J. Stuart Ablon, Direktur Program Terapi Perilaku, menjelaskan bahwa  anak-anak melihat dan mengamati orang dewasa, yaitu orang tuanya, sepanjang waktu. Jadi ketika orang tua terus-menerus memeriksa telepon ketika ngobrol dengan mereka, atau ngobrol dengan orang lain yang membuatnya kehilangan konsentrasi, anak-anak akan menirunya.


5. Pesan orang tua 

Seringkali saat mencoba melakukan yang terbaik, tanpa disadari orang tua dapat mengajarkan perilaku buruk.  Pada tahun 2014, Making Caring Common, sebuah inisiatif dari Harvard Graduate School of Education, bertanya kepada orang tua kualitas apa yang paling ingin mereka tanamkan pada anak-anak mereka. 

Kepedulian / perhatian berada di peringkat utama, diikuti kebahagiaan dan pencapaian. Namun, yang menarik, ketika ditanyakan kepada anak-anak, kepedulian/perhatian justru menjadi yang terakhir sedangkan pencapaian dan kesejahteraan justru berada di peringkat utama.

"Orang tua punya niat yang benar," kata psikolog Richard Weissbourd, "tetapi tanpa sadar cara mereka mendidik, mengajarkan anak, mengisyaratkan pesan kepada anak-anak bahwa pencapaian dan kesejahteraan justru yang paling penting."

Selain itu, sikap orang tua yang 'melindungi' anak agar tidak mengalami kekecewaan dan kesulitan hidup, yang dipikir akan meningkatkan harga diri mereka, justru membuat anak menjadi lebih tidak sopan, lebih kasar, bahkan lebih menuntut karena merasa selama ini selalu mendapat yang diingininya.

Untuk mengubah anak menjadi lebih sopan santun, psikolog Lynne Kenney menjelaskan tentu tidak terjadi dalam semalam. Mengubah kebiasaan itu membutuhkan waktu, namun tak bisa dipastikan berapa lama.  Yang jelas, orang tua harus terus memberikan dukungan untuk membantunya menyesuaikan dengan nilai yang keluarga Bunda ajarkan.

" Setiap kali Anda memberikan bimbingan atau melatih anak Anda secara emosional, Anda sedang membangun jalur baru di otaknya untuk menggantikan perilaku lama yang tidak diinginkan," demikian ujar Lynne.


Adalah pekerjaan besar bagi kita para orang tua untuk menanamkan sopan satun kepada anak-anak kita, generasi Z dan generasi Alpha. Yang perlu dilakukan saat ini adalah :

  • Memberi teladan bagaimana bersikap sopan dan santun pada anak.
  • Terus mengingatkan bagaimana berperilaku sopan dan santun.
  • Tak perlu marah jika anak berkata tak sopan, tetapi memintanya mengulangi lagi apa yang sudah diucapkan dengan kata-kata yang lebih sopan, itu lebih efektif.
  • Tak perlu membentak jika anak tak berlaku santun. Sekali lagi, mintalah anak untuk mengulangi sikap yang tak baik dengan sikap yang lebih santun, ia akan mengingatnya.
  • Bangun komunikasi yang intens dengan anak kita, agar kita bisa dekat dengan anak. Kedekatan emosional dengan anak, memudahkan orang tua menanamkan pengajaran-pengajaran yang baik kepada anak.


Mari kita gunakan sopan santun sebagai gaya hidup dalam mendidik anak-anak di keseharian kita. Supaya buah hati kita, generasi Z dan Alpha adalah generasi yang cerdas berteknologi, dan tetap bergaya hidup sopan dan santun.



Dari berbagai sumber

Terverifikasi :
Project ini telah melewati proses verifikasi Family First Indonesia.
Kunjungan Lokasi :
Project Creator telah mengunjungi lokasi dan memiliki orang yang dapat dihubungi di lokasi tersebut.
Kunjungan Staff :
Team Family First Indonesia telah mengunjungi lokasi project ini.
Terhubung :
Penggalangan dana ini terhubung dengan yayasan (XXXXXX)